![]() |
Dialog terbuka tentang DBH Migas Blok Cepu yang digelar Aliansi Masyarakat Blora di Pendopo Kecamatan Cepu. (rs-infoblora) |
BLORA . Aliansi Masyarakat Blora (AMB)
menggelar dialog terbuka tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Migas Blok Cepu. Acara
yang diadakan di Pendapa Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini
menyoal UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Selasa (20/5/2014).
Wajar dialog publik
tersebut digelar, karena warga Kabupaten Blora merasa diperlakukan tak adil
oleh pemerintah pusat terkait DBH ladang Migas Blok Cepu. Bahkan, hingga Sumur
Banyuurip, Blok Cepu sudah dimuntahkan minyaknya, dana dari konsep DBH yang masuk
ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Blora sangatlah kecil.
Perlu diketahui Pemerintah
Pusat dalam UU no.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mengatur
perihal pembagian DBH Migas dimana pembagian DBH Minyak Bumi yakni 84,5 % untuk
pemerintah pusat dan 15,5 % untuk pemerintah daerah.
Adapun bagian 15,5 % untuk
pemerintah daerah itu tidak serta merta milik kabupaten penghasil minyak,
melainkan harus dibagi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten sekitarnya.
Sehingga dari 15,5 % itu dibagi 3 % untuk pemerintah provinsi, 6% untuk
kabupaten penghasil letak mulut sumur minyak, 6 % untuk kabupaten di sekitar
kabupaten penghasil yang masih dalam satu provinsi dan sisanya 0,5 % untuk
penambahan alokasi pendidikan dasar.
Sedangkan dari data yang
ada, wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu berada di tiga Kabupaten, yakni
Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur 68 %, Kabupaten Tuban Jawa Timur 4 % dan
Kabupaten Blora Jawa Tengah 28 %.
Sampai saat ini eksplorasi
Blok Cepu berada di Lapangan Banyuurip Kabupaten Bojonegoro. Dengan demikian dengan
mengacu regulasi DBH Migas dalam UU
no.33 th 2004 tersebut yang mendapatkan DBH hanya Bojonegoro dan Tuban,
sedangkan Blora tidak dapat apa-apa meskipun masuk dalam WKP Blok Cepu hanya
karena beda provinsi.
Padahal dari kegiatan
ekplorasi Blok Cepu tersebut juga menimbulkan kerusakan sejumlah infrastruktur
jalan di Kabupaten Blora akibat hilir mudik truk-truk besar proyek Blok Cepu.
Tetapi Blora tidak mendapatkan hasil dari DBH Blok Cepu tersebut. Salah satu akibatnya kini infrastruktur di
dua kabupaten beda provinsi yang bersebelahan ini sangat mencolok dan
menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga perbatasan Jateng-Jatim.
Sekretaris AMB Blora, Iwan
Tri Handoyo, dalam pembukaan Dialog Terbuka menegaskan, revisi undang-undang
tersebut harus segera dilakukan agar Blora bisa mendapatkan DBH Migas Blok
Cepu.
"Mari Kita merapatkan
barisan untuk membela, dan berjuang menuntut keadilan dari pemerintah pusat.
Kami tidak mempermasalahkan keberadaan Exxon maupun Pertamina, namun Blora
kenapa tidak mendapat DBH Migas Blok Cepu," imbuhnya.
Iwan menyatakan, bahwa
semua elemen masyarakat diundang dalam kegiatan ini, termasuk telah diundang
pihak DPRD Blora, Pemkab Blora, dan aktivis LSM. "Mari bersatu untuk
perjuangan DBH Migas ini," tandasnya.
Mereka ingin pembagian DBH
Migas tidak didasarkan pada letak mulut sumur minyak, namun didasarkan pada
wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Cepu dimana Blora masuk didalamnya yang
juga sebagai daerah terdampak.
Kepala Dinas Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Blora, Setyo Edy, memaparkan semenjak dulu Blora
untuk potensi minyak hanya sumur lama saja yang diproduksi. Tidak ada sumur
minyak baru. Namun ketika ada sumur minyak baru yang ada di Blok Cepu saatnya
produksi, Blora tidak mendapatkan apa-apa. Itulah yang perlu diperjuangkan.
Perjuangan DBH Migas Blora
sudah lama dilakukan, dan itu sudah dilakukan dengan cara luar biasa.
"Saya ada dokumennya, perjuangan sudah luar biasa tanpa mengenal lelah
hingga ke Jakarta berkali-kali," ujar Edy.
Menurut Edy, ujung
persoalannya ada di undang-undang, jadi tergantung pemerintah pusat dan DPR RI.
Oleh karena itu dibentuklah Tim Transparasni Migas tahun 2010 lalu, untuk
memperjuangkan salah satunya perjuangan DBH Migas.
“Tidak akan menyerah dan
terus berjuang. Nasibnya Blora harus diperjuangkan untuk mendapatkan DBH Migas
Blok Cepu secara adil dan proposional," jelas Edy.
"Untuk Kabupaten
Bojonegoro DBH Migas dapat Rp 280 miliar,
Blora DBH baru Rp 2,4 miliar, sangat kecil. Padahal namanya Blok Cepu. Ibarat
pangkat Jenderal penghasilan Kopral. Itulah realitanya," ungkapnya yang
wilayah kandungan Blok Cepu ini spesifik, di Blora 28 persen, Bojonegoro
68 persen, dan 4 persennya di Tuban.
"Hanya karena dibatasi
Bengawan Solo, dan beda provinsi, Blora tidak dapat bagian proposional,"
ujar Edy.
"Regulasi harus
direvisi. Sudah kita coba untuk ajukan usulan revisi UU masih perlu
bersabar dan terus berjuang. Tidak akan goal harus terus berjuang dari seluruh
elemen masyarakat stakeholder di Blora," katanya.
Sementara itu, Lulus Tri
Laksono, dari LSM Lentera Cepu - Blora, berharap dialog ini jangan hanya
wacana. Dia ungkapkan saat Wamen ESDM didemo akan akan ikut
memperjuangkan, tetapi sampai saat ini masih belum ada hasilnya.
"Jadi jangan hanya
berhenti di seremonial peringatan hari Kebangkitan Nasional saja," kata
Tulus.
Hal ekstrim seperti
disampaikan oleh Agus Jati Waluyo dari FK-PKL Mandiri Cepu. "Kami siap
untuk dijadikan pasukan demo untuk Blora. Mangga asal untuk perubahan undang-
undang ini (UU 33/2004-Red)," katanya.
Seno Margo Utomo, Ketua AMB
Blora, menyampaikan, kegiatan ini untuk mendorong perjuangan DBH Migas
Blok Cepu. "Sudah 4 tahun belum ada hasil. Hari ini untuk mendorong
setelah ini menjadi community interest bahwa sepakat Blora sebagai daerah
penghasil harus mendapatkan DBH Migas Blok Cepu," katanya.
Menurut Seno,
Kabupaten Blora diikutkan dalam dana Participating Interest (PI) sebesar
sekira Rp 60 trilyun tapi tidak signifikan, Blora diakui sebagai pemilik blok
namun DBH tidak dapat.
Menuju revisi UU saat ini
belum masuk prolegnas, untuk itu perlu perjuangan sambil menunggu adanya revisi
UU tersebut diperlukan Surat Keputusan Kementerian ESDM sementara. "Hari
ini semangat baru elemennya lebih banyak kita keluarkan petisi perjuangan DBH
Migas Blok Cepu," jelasnya.
Petisi ini representasi
dari semua elemen masyaarakat. "Kementerian ESDM sudah tahu kalau ini
tidak adil bagi Blora," imbuhnya.
Dalam petisi itu, Seno
menyebutkan, pemerintah pusat harus menetapkan Blora sebagai dearah penghasil
dengan SK Kementerian ESDM. Memerintahkan operator Blok Cepu melalui SKK Migas
untuk menekan operator segera produksi.
"Serta adanya
kebijakan berupa SK Kementerian terkait sebelum adanya revisi UU nomor 33 tahun
2004," kata Seno yang selanjutnya petisi tersebut ditandatangani
oleh seluruh elemen masyarakat dan LSM yang ada di Blora. (rs-infoblora | ali-suarabanyuurip)
1 komentar:
kalau cuman petisi mau sampai nunggingpun enggak akan di dengar sama pusat.
Posting Komentar