Home » , » Elpiji 3 Kg Mahal dan Langka, Sebagian Warga Blora Memilih Mencari Kayu Bakar di Hutan

Elpiji 3 Kg Mahal dan Langka, Sebagian Warga Blora Memilih Mencari Kayu Bakar di Hutan

infoblora.id on 6 Jun 2014 | 08.30

Supar (43) menuntun sepedanya yang penuh dengan kayu bakar.
BLORA. Sebulan terakhir harga gas elpiji 3 kilogram di Blora mengalami ketidakstabilan. Pasokan terbatas, cepat habis dan harga melonjak hingga Rp 20 ribu per tabung. Untuk mengatasinya, pemerintah kabupaten menempuh berbagai upaya agar distribusi elpiji 3 kg terpantau, tidak dipermainkan oleh agen hingga pengecer. Bahkan dikabarkan pula akan  menggelar operasi pasar.

Namun warga pengguna elpiji tidak semuanya resah dan gelisah menghadapi situasi ini. Ada warga yang mensiasatinya dengan mencari kayu bakar ke hutan. Salah satunya adalah Supar (43) warga dukuh Ploso, Desa Kamolan, Kecamatan Blora.  Agar dapurnya tetap ngebul, petani penggarap sawah itu memilih mencari kayu bakar (rencek-red) di hutan yang jarak tempuhnya lebih kurang 10 kilometer dari rumahnya.

Berangkat pagi mengayuh sepeda, menebas ranting kayu, menatanya dalam keranjang. Ketika merasa cukup, dengan nafas terengah-engah dikayuhnya sepeda untuk pulang. Ketika melintas jalan tanjakan, dia turun dari sepedanya lantas tegopoh-gopoh menuntun sepeda ontel bermuatan kayu bakar itu. Terbersit dalam benaknya, sang istri tercinta tidak akan mengeluh saat orang lain kebingungan mencari elpiji 3 kg. Artinya, dia punya tanggung jawab atas lancarnya bahan bakar untuk menunjang kebutuhan sehari-hari di keluarganya.

“Ya capek, tapi itu demi kebutuhan dapur. Lebih irit, meski tidak tiap hari mencari rencek ke hutan. Ranting kayu yang saya ambil bisa cukup untuk seminggu. Tetapi saat ini pas musimnya ruwahan, jadi perlu stok kayu bakar yang cukup, sebab biasanya ada tetangga yang membutuhkan,” kata Supar, Kamis (5/6) kemarin.

Setiba di rumah, kayu bakar dari ranting pohon jati yang masih setengah basah itu biasanya tidak lasung bisa digunakan, sebab harus dijemur lebih dulu agar kering, sehingga saat digunakan lebih cepat terbakar. Tetapi dia selalu punya cadangan kayu bakar kering yang siap pakai. Selanjutnya, menjelang stok kayu bakarnya habis, dia pun tak bosan dan tak penat mengayuh sepeda ontel menuju hutan lagi guna mencari kayu bakar.

“Asal ijin sama petugas hutan dan tidak melanggar aturan, saya kira boleh mencari kayu bakar,” katanya.  

Sementara, sang istrinya pun tak merisaukan apakah perkakas dapurnya menjadi hitam, hangus atau ada ingus dari asap pembakaran. “Kalau hitam ya dicuci, digosok pakai abu bekas pembakaran di dapur, pakai sabun, jadi bersih lagi. Tidak kuatir kalau seperti itu,” kata Supar yang melihat kebiasan istrinya.

Yang dilakoni oleh Supar, juga dilakoni oleh warga setempat lainnya. Seperti Karno (38) dan Sugandi (47). Alasannya juga sama, mencari solusi terbaik bagi keluarganya agar tidak melulu menggantungkan pada elpiji.

“Sebenarnya istri saya juga menggunakan kompor gas untuk memasak, tetapi kalau harganya tidak stabil ya mendingan menggunakan kayu bakar saja. Sesekali saja menggunakan kompor gas kalau butuh mendadak,” tandas Sugandi.

Sepertinya tidak hanya sebagian warga Desa Kamolan saja, namun bisa dijumpai di berbagai wilayah Blora, yang warganya kembali memilih menggunakan kayu bakar saat terjadi ketidakstabilan harga elpiji 3 kg. Bahkan di sejumlah tempat, harga per tabung elpiji 3 kg, kini mencapai Rp 20 ribu.

Harapannya, Harga Eceran Tertinggi (HET) segera diberlakukan, sehingga warga kecil yang penghasilannya pas-pasan bisa menghela nafas saat berbelanja elpiji  3 kg dengan standar ekonominya masing-masing. (rs-infoblora | DPPKKI Blora).
Share this article :

0 komentar:


 
Copyright © 2013. infoblora.id - All Rights Reserved