Supar (43) menuntun sepedanya yang penuh dengan kayu bakar. |
BLORA. Sebulan terakhir harga gas elpiji 3 kilogram di Blora mengalami ketidakstabilan. Pasokan terbatas, cepat habis dan harga melonjak hingga Rp 20 ribu per tabung. Untuk mengatasinya, pemerintah kabupaten menempuh berbagai upaya agar distribusi elpiji 3 kg terpantau,
tidak dipermainkan oleh agen hingga pengecer. Bahkan dikabarkan pula akan menggelar operasi pasar.
Namun warga pengguna elpiji tidak
semuanya resah dan gelisah menghadapi situasi ini. Ada warga yang mensiasatinya dengan mencari
kayu bakar ke hutan. Salah satunya adalah Supar (43) warga dukuh Ploso, Desa Kamolan,
Kecamatan Blora. Agar dapurnya tetap ngebul, petani penggarap sawah itu
memilih mencari kayu bakar (rencek-red) di hutan yang jarak tempuhnya lebih kurang 10 kilometer dari rumahnya.
Berangkat pagi mengayuh sepeda, menebas ranting kayu, menatanya dalam
keranjang. Ketika merasa cukup, dengan nafas terengah-engah dikayuhnya
sepeda untuk pulang. Ketika melintas jalan tanjakan, dia turun
dari sepedanya lantas tegopoh-gopoh menuntun sepeda ontel bermuatan kayu
bakar itu. Terbersit dalam benaknya, sang istri tercinta tidak akan
mengeluh saat orang lain kebingungan mencari elpiji 3 kg. Artinya, dia
punya tanggung jawab atas lancarnya bahan bakar untuk menunjang
kebutuhan sehari-hari di keluarganya.
“Ya capek, tapi itu demi
kebutuhan dapur. Lebih irit, meski tidak tiap hari mencari rencek ke
hutan. Ranting kayu yang saya ambil bisa cukup untuk seminggu. Tetapi
saat ini pas musimnya ruwahan, jadi perlu stok kayu bakar yang cukup,
sebab biasanya ada tetangga yang membutuhkan,” kata Supar, Kamis
(5/6) kemarin.
Setiba di rumah, kayu bakar dari ranting pohon jati
yang masih setengah basah itu biasanya tidak lasung bisa digunakan,
sebab harus dijemur lebih dulu agar kering, sehingga saat digunakan
lebih cepat terbakar. Tetapi dia selalu punya cadangan kayu
bakar kering yang siap pakai. Selanjutnya, menjelang stok kayu bakarnya
habis, dia pun tak bosan dan tak penat mengayuh sepeda ontel menuju
hutan lagi guna mencari kayu bakar.
“Asal ijin sama petugas hutan dan tidak melanggar aturan, saya kira boleh mencari kayu bakar,” katanya.
Sementara, sang istrinya pun tak merisaukan apakah perkakas dapurnya menjadi hitam, hangus atau ada ingus dari asap pembakaran. “Kalau hitam ya dicuci, digosok pakai abu bekas pembakaran di dapur,
pakai sabun, jadi bersih lagi. Tidak kuatir kalau seperti itu,” kata
Supar yang melihat kebiasan istrinya.
Yang dilakoni oleh Supar, juga dilakoni oleh warga setempat lainnya. Seperti Karno (38) dan Sugandi (47). Alasannya juga sama, mencari solusi terbaik bagi keluarganya agar tidak melulu menggantungkan pada elpiji.
“Sebenarnya istri saya juga menggunakan kompor gas untuk memasak,
tetapi kalau harganya tidak stabil ya mendingan menggunakan kayu bakar
saja. Sesekali saja menggunakan kompor gas kalau butuh mendadak,” tandas
Sugandi.
Sepertinya tidak hanya sebagian warga Desa Kamolan
saja, namun bisa dijumpai di berbagai wilayah Blora, yang warganya
kembali memilih menggunakan kayu bakar saat terjadi ketidakstabilan
harga elpiji 3 kg. Bahkan di sejumlah tempat, harga per tabung elpiji 3
kg, kini mencapai Rp 20 ribu.
Harapannya, Harga Eceran
Tertinggi (HET) segera diberlakukan, sehingga warga kecil yang
penghasilannya pas-pasan bisa menghela nafas saat berbelanja elpiji 3
kg dengan standar ekonominya masing-masing. (rs-infoblora | DPPKKI Blora).
0 komentar:
Posting Komentar