![]() |
HUTAN RAKYAT : Hutan Jati Rakyat yang ada di Kabupaten Blora |
Angin puting beliung dan
longsor tidak lagi melanda kawasan sejumlah desa di Kabupaten Blora,
Jawa Tengah. Kini, terpaan "angin" dan "banjir rezeki yang justru hadir
di daerah-daerah bekas penjarahan hutan di era 1998 itu. Ini berkat
pohon jati yang menjadi penyelamat.
"Jangan sampai anak cucu kami kekurangan
air dan menghadapi bencana alam tahunan," kata Soewadji (60), warga
Desa Plantungan Kecamatan Blora.
Blora merupakan salah satu kabupaten paling timur di Jawa Tengah yang berjarak sekitar 127 kilometer dari Kota
Semarang. Blora memiliki hutan terluas di Jawa Tengah 90,417 hektar.
Luasan tersebut sekitar 49,66 persen atau hampir separuh luas wilayah
Blora, 182.059 hektar.
Kawasan yang berada di cekungan
Pegunungan Kendeng Utara itu selalu krisis air bersih setiap musim
kemarau. Lima belas tahun lalu, hutan jati Perum Perhutani dan jati liar
di Blora nyaris habis.
Blora yang dikenal banyak orang sebagai
kota jati justru menampilkan pemandangan lahan-lahan kritis yang
tersebar merata baik di dataran rendah maupun di lereng-lereng
Pegunungan Kendeng Utara. Hal itu menyebabkan krisis air semakin parah
dan bencana alam, seperti angin puting beliung, longsor, dan banjir,
kerap terjadi.
"Dahulu, hampir tiap setahun dua kali
angin puting beliung melanda desa kami. Banyak rumah yang roboh dan
rusak karena pemukiman kami tidak terlindungi pepohonan lagi," kata
Soewadji, yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Rakyat
(Gapoktanhut) Jati Mustika, Blora.
Pada 2003, sebagian warga Blora mulai
menyadari pentingnya pohon, yaitu sebagai benteng angin puting beliung,
penyerap air, dan sekaligus sebagai investasi. Mulailah sejumlah warga
merintis jati rakyat.
Ada warga yang menanam kembali jati
dengan membuat kebun pembibitan sendiri atau mengambil bibit-bibit jati
liar di hutan. Ada pula yang merawat pohon jati yang masih tersisa atau
terhindar dari penebangan liar di luar lahan Perhutani.
Hingga pada 3 Maret 2011 terbentuklah
Gapoktan tersebut beranggotakan kelompok-kelompok tani di delapan desa
di kecamatan Blora, Jepon, dan Bogorejo, yaitu Desa Ngampel,
Sendangharjo, Plantungan, Tempuran, Waru, Solo, Jatirejo, dan
Jurangjero.
Mereka yang beranggotakan 884 petani itu
memiliki dan mengelola 183.331 tegakan jati lokal di lahan seluas
500,36 hektar. Hasil produksi kayu gelondong hutan jati rakyat itu
5,965,88 meter kubik. Artinya, jika harga kayu jati Rp 2 juta per meter
kubik, investasi uang para patani jati rakyat itu senilai total Rp 11,93
miliar.
Tidak hanya Gapoktanhut Jati Mustika
yang mengembangkan jati rakyat, banyak warga Blora lain juga menanam
jati. Berdasarkan data dinas Kehutanan Kabupaten Blora, hutan rakyat di
Blora pada 2011 seluas 17.265 hektar dan pada 2012 seluas 22.647 hektar.
Perlindungan jati
Kepala Bidang Pengendalian, Pengawasan,
dan Peredaran Hasil Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Blora Mashudi
mengatakan, bertambah luasnya hutan jati rakyat itu semakin mengurangi
luas lahan-lahan kritis di Blora. Pada 2005, lahan kritis di Blora
1.234.859 hektar dan pada 2011 menjadi 668,947 hektar.
Untuk melindungi kelestarian lingkungan,
pemerintah mengajak petani bersama-sama mengurangi penebangan jati
karena kebutuhan (tebang butuh). Banyak petani butuh dana untuk
pernikahan atau membangun rumah. Dana itu diperoleh dari menebang dan
menjual jati.
" Kementerian Kehutanan dan Badan
Layanan Umum (BLU) menggelar program dana kredit tunda tebang. Pada
tahun ini, Gapoktanhut Jati Mustika Blora akan menerima dana itu senilai
total Rp 3,6 miliar," kata Mashudi.
Para petani akan mendapatkan kredit
lunak dengan bunga 0,75 persen sesuai dengan jumlah pohon jati yang
dijaminkan. Sebagai timbal baliknya, selama lima tahun, petani tak boleh
menebang pohon jati yang dijaminkan itu tanpa seizin BLU.
Selain itu, para petani, terutama yang
tergabung dalam Gapoktanhut Jati Mustika, telah mengantongi sertifikat
verifikasi legalitas kayu (SVLK). Dengan sertifikat tersebut, jati
rakyat dapat bersaing dengan jati Perhutani sebagai bahan baku mebel
ekspor yang mensyaratkan ekolabeling.
Soewadji mengemukakan, sebagai tindak
lanjut atas SVLK itu, para petani telah menandatangani nota kesepahaman
(MOU) dengan perusahaan mebel dan furnitur dari Yogyakarta, PT Jawa Puri
Lestari, Perusahaan pengekspor mebel dan furnitur di sejumlah negara
Eropa itu sepakat membeli jati rakyat petani sesuai kebutuhan.
"Selain itu, kami juga siap menerima
pesanan kayu jati dari sejumlah perusahaan mebel kualitas ekspor di
Jepara. Namun, demi kelestarian lingkungan, kami akan memenuhi
permintaan sesuai dengan kapasitas kami, bukan kapasitas yang ditentukan
mereka," ujarnya.
Untuk menopang, kelestarian alam dan
lingkunagn, Gapoktanhut Jati Mustika menerapkan tebang satu tanam lima.
Artinya, ketika ada satu pohon yang di tebang, petani yang menebang
harus menanam lima benih jati pengganti. Pohon jati yang ditebang harus
memiliki batang berdiameter di atas 19 sentimeter, atau berumur minimal
10 tahun. Oleh : HENDRIYO WIDI (rs-infoBlora | sumber : Kompas)
0 komentar:
Posting Komentar