Home » , , » Investasi Lingkungan Hutan Jati Rakyat Blora Semakin Hijau, Hasilnya Siap Diekspor ke Mancanegara

Investasi Lingkungan Hutan Jati Rakyat Blora Semakin Hijau, Hasilnya Siap Diekspor ke Mancanegara

infoblora.id on 19 Jul 2013 | 22.20

HUTAN RAKYAT : Hutan Jati Rakyat yang ada di Kabupaten Blora
MENJAGA NUSANTARA
Angin puting beliung dan longsor tidak lagi melanda kawasan sejumlah desa di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kini, terpaan "angin" dan "banjir rezeki yang justru hadir di daerah-daerah bekas penjarahan hutan di era 1998 itu. Ini berkat pohon jati yang menjadi penyelamat. 

"Jangan sampai anak cucu kami kekurangan air dan menghadapi bencana alam tahunan," kata Soewadji (60), warga Desa Plantungan Kecamatan Blora.

Blora merupakan salah satu kabupaten paling timur di Jawa Tengah yang berjarak sekitar 127 kilometer dari Kota Semarang. Blora memiliki hutan terluas di Jawa Tengah 90,417 hektar. Luasan tersebut sekitar 49,66 persen atau hampir separuh luas wilayah Blora, 182.059 hektar.

Kawasan yang berada di cekungan Pegunungan Kendeng Utara itu selalu krisis air bersih setiap musim kemarau. Lima belas tahun lalu, hutan jati Perum Perhutani dan jati liar di Blora nyaris habis.

Blora yang dikenal banyak orang sebagai kota jati justru menampilkan pemandangan lahan-lahan kritis yang tersebar merata baik di dataran rendah maupun di lereng-lereng Pegunungan Kendeng Utara. Hal itu menyebabkan krisis air semakin parah dan bencana alam, seperti angin puting beliung, longsor, dan banjir, kerap terjadi.

"Dahulu, hampir tiap setahun dua kali angin puting beliung melanda desa kami. Banyak rumah yang roboh dan rusak karena pemukiman kami tidak terlindungi pepohonan lagi," kata Soewadji, yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Rakyat (Gapoktanhut) Jati Mustika, Blora.

Pada 2003, sebagian warga Blora mulai menyadari pentingnya pohon, yaitu sebagai benteng angin puting beliung, penyerap air, dan sekaligus sebagai investasi. Mulailah sejumlah warga merintis jati rakyat.

Ada warga yang menanam kembali jati dengan membuat kebun pembibitan sendiri atau mengambil bibit-bibit jati liar di hutan. Ada pula yang merawat pohon jati yang masih tersisa atau terhindar dari penebangan liar di luar lahan Perhutani.

Hingga pada 3 Maret 2011 terbentuklah Gapoktan tersebut beranggotakan kelompok-kelompok tani di delapan desa di kecamatan Blora, Jepon, dan Bogorejo, yaitu Desa Ngampel, Sendangharjo, Plantungan, Tempuran, Waru, Solo, Jatirejo, dan Jurangjero.

Mereka yang beranggotakan 884 petani itu memiliki dan mengelola 183.331 tegakan jati lokal di lahan seluas 500,36 hektar. Hasil produksi kayu gelondong hutan jati rakyat itu 5,965,88 meter kubik. Artinya, jika harga kayu jati Rp 2 juta per meter kubik, investasi uang para patani jati rakyat itu senilai total Rp 11,93 miliar.

Tidak hanya Gapoktanhut Jati Mustika yang mengembangkan jati rakyat, banyak warga Blora lain juga menanam jati. Berdasarkan data dinas Kehutanan Kabupaten Blora, hutan rakyat di Blora pada 2011 seluas 17.265 hektar dan pada 2012 seluas 22.647 hektar.

Perlindungan jati
Kepala Bidang Pengendalian, Pengawasan, dan Peredaran Hasil Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Blora Mashudi mengatakan, bertambah luasnya  hutan jati rakyat itu semakin mengurangi luas lahan-lahan kritis di Blora. Pada 2005, lahan kritis di Blora 1.234.859 hektar dan pada 2011 menjadi 668,947 hektar.

Untuk melindungi kelestarian lingkungan, pemerintah mengajak petani bersama-sama mengurangi penebangan jati karena kebutuhan (tebang butuh). Banyak petani butuh dana untuk pernikahan atau membangun rumah. Dana itu diperoleh dari menebang dan menjual jati.

" Kementerian Kehutanan dan Badan Layanan Umum (BLU) menggelar program dana kredit tunda tebang. Pada tahun ini, Gapoktanhut Jati Mustika Blora akan menerima dana itu senilai total Rp 3,6 miliar," kata Mashudi.

Para petani akan mendapatkan kredit lunak dengan bunga 0,75 persen sesuai dengan jumlah pohon jati yang dijaminkan. Sebagai timbal baliknya, selama lima tahun, petani tak boleh menebang pohon jati yang dijaminkan itu tanpa seizin BLU.

Selain itu, para petani, terutama yang tergabung dalam Gapoktanhut Jati Mustika, telah mengantongi sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK). Dengan sertifikat tersebut, jati rakyat dapat bersaing dengan jati Perhutani sebagai bahan baku mebel ekspor yang mensyaratkan ekolabeling.

Soewadji mengemukakan, sebagai tindak lanjut atas SVLK itu, para petani telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan perusahaan mebel dan furnitur dari Yogyakarta, PT Jawa Puri Lestari, Perusahaan pengekspor mebel dan furnitur di sejumlah negara Eropa itu sepakat membeli jati rakyat petani sesuai kebutuhan.

"Selain itu, kami juga siap menerima pesanan kayu jati dari sejumlah perusahaan mebel kualitas ekspor di Jepara. Namun, demi kelestarian lingkungan, kami akan memenuhi permintaan sesuai dengan kapasitas kami, bukan kapasitas yang ditentukan mereka," ujarnya.

Untuk menopang, kelestarian alam dan lingkunagn, Gapoktanhut Jati Mustika menerapkan tebang satu tanam lima. Artinya, ketika ada satu pohon yang di tebang, petani yang menebang harus menanam lima benih jati pengganti. Pohon jati yang ditebang harus memiliki batang berdiameter di atas 19 sentimeter, atau berumur minimal 10 tahun. Oleh : HENDRIYO WIDI (rs-infoBlora | sumber : Kompas)
Share this article :

0 komentar:


 
Copyright © 2013. infoblora.id - All Rights Reserved