Eko Santoso (kanan) bersama sejumlah ibu-ibu sedang mengerjakan pesanan kopiah rajut di Balaidesa Jatirejo. (foto: jo-infoblora) |
Pelopornya adalah Eko Santoso, pemuda
desa yang beralamatkan di RT 03 RW 01 Desa Jatirejo Kecamatan Jepon,
atau tepatnya di belakang SDN 1 Jatirejo. Dari tangan Eko inilah
lahir karya kopiah rajut yang pertama pada tahun 2015, dan kemudian
diajarkan ke masyarakat luas yang kini menjadi karyawatinya.
“Awalnya dulu tahun 2015 saya diajari
salah satu teman dari Gresik, kemudian saya buat sendiri. Produk
pertama saya pasarkan di Rembang. Alhamdulillah laku dan mulai
meningkat permintaannya,” ungkap Eko, ketika ditemui Rabu
(23/5/2018) di Balaidesa Jatirejo bersama sejumlah karyawatinya.
Untuk memenuhi permintaan yang terus
meningkat itulah ia mulai mengajarkan kemampuannya dalam merajut
kopiah kepada warga masyarakat sekitar sebagai kegiatan sampingan.
Karena sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani.
“Dulu banyak ibu-ibu yang ngerumpi
setiap sore. Kemudian saya tawari pekerjaan membuat kopiah. Ternyata
mau, sehingga saya ajari dan sampai sekarang berlanjut, berkembang
hingga ke beberapa desa. Saat ini yang aktif ada 50 orang perajut
yang kebanyakan perempuan,” lanjut Eko.
Lima puluh orang perajut itu tersebar
di Desa Jatirejo, Desa Puledagel, Desa Gedangdowo, Desa Kemloko
Jepon, Desa Tempellemahbang, Desa Keser hingga ada yang dari Rembang.
“Kebanyakan mereka merajut di
rumahnya masing-masing. Saya yang menyetori bahan bakunya, setelah
jadi saya ambil untuk dikemas dan dikirim sesuai alamat pemesan,”
lanjut Eko.
Fitri Andriyanti, salah satu perajut
mengaku senang bisa membuat kopiah sebagai kegiatan sampingan yang
dikerjakan di rumah.
“Alhamdulillah bisa menambah
penghasilan keluarga. Mengerjakannya juga santai, tidak perlu
keahlihan khusus. Dulu saya belajar mulai nol hingga bisa hanya butuh
waktu sekitar dua mingguan,” papar Fitri.
Kelebihannya kopiah ini menurut Eko
sangat fleksible, mudah dibawa, dapat dilipat, mudah dicuci dan tidak
luntur warnanya karena terbuat dari benang polyester. Untuk harga
jual kopiah rajut ia bandrol mulai Rp 35 ribu hingga mencapai Rp 100
ribu per buahnya.
“Harganya per buah bervariasi. Yang
paling murah Rp 35 ribu itu paling sederhana hanya terdiri dari dua
warna benang saja. Semakin banyak warna, semakin besar, semakin
tinggi dan motifnya semakin rumit maka harga akan semakin mahal,”
terang Eko Santoso.
Kopiah rajut Al Juhfa di bulan Ramadan mengalami peningkatan pesanan, namun terkendala modal. (foto: jo-infoblora) |
“Pernah ngirim ke Lampung juga dan
beberapa kota besar lainnya, tapi yang berlanggaran rutin dari
Kediri, Magetan dan Rembang. Kediri permintaannya 300 buah per bulan,
Magetan mintanya 800 buah per bulan, sedangkan Rembang 200 sampai 250
buah per dua mingguan. Saat Ramadan seperti ini permintaan juga
meningkat hingga 80 persen lebih,” bebernya.
Hanya saja untuk memenuhi permintaan
sebanyak itu ia merasa kewalahan karena daya produksinya baru bisa
mencapai rata-rata 400
buah per bulan karena semua dikerjakan secara manual, tanpa
mesin. Disamping itu bahan bakunya juga harus membeli dari Surabaya,
karena di Blora belum ada lengkap.
“Di Blora ada yang jual benang
polyester, tetapi harganya mahal dan pilihan warnanya terbatas.
Sehingga saya ambil dari pabrikan di Surabaya yang lebih lengkap dan
lebih murah. Namun dari pabriknya hanya melayani pembelian benang
minimal senilai Rp 4 juta. Jadi ketika modal tersendat, terpaksa
produksi kita agak kendor,” ungkap Eko Santoso yang juga alumnus
Ponpes Lirboyo Kediri ini.
Ia berharap kedepan ada bantuan
permodalan untuk pengembangan usahanya.
“Kalau masalah tenaga kerja Insya
Allah bisa terus bertambah. Kendala saya hanya pemenuhan bahan
bakunya, karena harus mendatangkan dari Surabaya, sedangkan modal
saya terbatas. Tidak sebanding dengan permintaan yang ada,”
keluhnya. (jo-infoblora)
0 komentar:
Posting Komentar