![]() |
Gunawan Setiyaji |
Selama ini publik menganggap pembagian hasil minyak bumi dari Blok
Cepu Kabupaten Blora tidak memenuhi rasa keadilan. Warga Blora bahkan
menyeluarkan petisi meminta bagi hasil secara adil (infoblora, 21/5/14).
Eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang keuntungannya
dibagi-hasilkan kepada daerah penghasil minyak itu berujung pada
pemberian dana bagi hasil (DBH) kepada Kabupaten Bojonegoro dan Provinsi
Jawa Timur. Mereka kemudian meneruskan pembagiannya kepada
kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.
Kabupaten Blora yang wilayahnya berimpitan dengan Kabupaten
Bojonegoro dan juga merupakan bagian dari Blok Cepu, tidak mendapatkan
DBH karena bukan merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, di mana
kabupaten penghasil minyak bumi tersebut berada.
Permasalahan DBH migas seperti kasus Blora-Bojonegoro sesungguhnya
bukan persoalan baru. Hal ini terjadi pula dalam kasus Bontang-Kutai
Kartanegara (Kukar). Kabupaten Kukar memiliki hasil gas terbesar di
Indonesia. Minyak mentahnya telah eksploitasi dan diproduksi sejak 1976
oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) Total, Vico, Chevron, dan
Medco. Kota Bontang tidak secara langsung memperoleh DBH meskipun Kilang
LNG, 2 Kilang LPG, dan fasilitas pendukung lainnya terletak di Bontang.
Kasus DBH migas Blora-Bojonegoro ini menjadi berbeda lantaran mereka
berada dalam dua provinsi berbeda. Bila Bontang mendapat cipratan DBH
migas melalui Provinsi Kaltim lantaran berada di provinsi yang sama
dengan Kukar, Blora sama sekali tidak memperolehnya karena berada di
Jawa Tengah, sedangkan Kabupaten Bojonegoro sebagai penghasil migas
berada di Jawa Timur.
Persoalan ini secara hukum mendapatkan dasar kuat, yaitu dalam UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Menurut Pasal 19 UU tersebut, penerimaan
pertambangan minyak bumi dan gas bumi sesudah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya akan dibagikan ke daerah. Pembagiannya, untuk DBH
migas 15% dengan 3% untuk provinsi penghasil, 6% untuk kabupaten/kota
penghasil dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi
penghasil.
Adapun pembagian untuk DBH gas bumi adalah 30% dengan 6% untuk
provinsi penghasil, 12% untuk kabupaten/kota penghasil dan 12% dibagikan
untuk kabupaten/kota dalam provinsi penghasil. Di luar itu, sesuai
dengan Pasal 20 UU tersebut, juga terdapat 0,5% yang dibagihasilkan
untuk pengembangan pendidikan dasar.
Kasus DBH migas Blora-Bojonegoro ini mengemuka karena sejauh ini
dalam Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Blok Cepu yang meliputi 3
kabupaten, yaitu Tuban, Bojonegoro, dan Blora, baru sumur di Bojonegoro
yang menghasilkan minyak. Berdasarkan konsep DBH Migas UU Nomor 33 Tahun
2004, Blora tidak memiliki hak atas DBH migas Blok Cepu dari mulut
sumur di Bojonegoro.
Prinsip Alokatif
Menelaah konsep ini, perumusan DBH migas ala UU Nomor 33 Tahun 2004
ini sebenarnya rancu. Pemerintah mungkin beranggapan bahwa hal itu juga
sejalan dengan konsep desentralisasi fiskal, namun secara
ekonomi-politik telah gagal menangkap esensinya. Akhirnya, justru konsep
DBH ini menempatkan daerah-daerah sebagai mozaik ekonomi tak beraturan.
Padahal, menurut international best practice, apa pun model bagi
hasil migas, tetap harus memenuhi sejumlah prinsip alokatif, yakni;
koherensi dengan kebijakan energi nasional secara keseluruhan;
prinsip-prinsip distribusi; kompensasi kepada aspek derivasi dari biaya
produksi langsung maupun tidak langsung; stabilitas ekonomi nasional,
regional dan lokal; serta tanggung jawab pengeluaran.
Intinya, tidak ada pengaturan baku soal pengaturan revenue sharing
hasil migas yang diberlakukan di sejumlah negara. Namun RUU HKPD
seolah-olah tidak memberikan ruang diskusi sebagai solusi polemik DBH
migas bagi daerah-daerah penghasil minyak/gas yang memiliki masalah
perbatasan. Apa yang diatur dalam RUU HKPD ini dalam masalah DBH migas
masih mempertahankan konsep DBH dalam UU Nomor 33 Tahun 2004.
Perbedaannya hanyalah besaran DBH migas, dari sebelumnya memberikan 30%
hasil kepada daerah penghasil migas menjadi 30,5%.
Selain itu, dalam RUU HKPD terdapat pengaturan lebih jelas mengenai
pengertian daerah penghasil. Rancangan itu menegaskan yang dimaksud
dengan kabupaten/kota penghasil migas adalah wilayah daratan yang
menjadi tempat kepala sumur (wellhead) produksi dan wilayah laut
kabupaten/kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas.
Ketika membicarakan solusi DBH migas Blok Cepu, kepentingan kita
bukan hanya menyoroti nasib Blora, yang wilayahnya hanya 15 km dari
mulut sumur yang saat ini menghasilkan puluhan ribu, bahkan hingga
ratusan ribu barel minyak mentah tiap hari. Ini soal keadilan fiskal,
akal sehat fiskal. Sungguh, kejumudan berpikir luar biasa andai
pemerintah dan DPR mempertahankan konsep bagi hasil migas dalam UU Nomor
33 Tahun 2004 melalui RUU HKPD ini walau polemik keadilan dalam masalah
Blok Cepu makin mengemuka. (10)
Oleh : Gunawan Setiyaji, staf Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, alumnus The Australian National University (ANU) Canberra. (infoblora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan Saran serta masukan sangat berharga demi akuratnya informasi dalam portal infoblora.id ini.