![]() |
Ahmad Maryudi, profesor muda di Fakultas Kehutanan UGM asal Desa Patalan, Kecamatan/Kabupaten Blora. (foto: dok-ugm) |
Ia adalah Ahmad Maryudi, anak Blora
kelahiran Desa Patalan, Kecamatan Blora yang dikenal ulet dan tidak
pernah putus asa untuk meraih cita-citanya.
“Saya ini anak buruh tani. Bapak
dan ibu saya nggak punya sawah. Saya juga kalau pulang sekolah ngarit
(mencari rumput, red). Kadang juga angon wedus (menggembala
kambing),” kata Ahmad Maryudi mengawali cerita tentang masa
kecilnya, ketika dihubungi beberapa hari lalu.
Maryudi, sapaan akrabnya, lahir dan
dibesarkan di Desa Patalan, Kecamatan Blora. Dari keluarga yang
pas-pasan. Bapak dan ibunya adalah buruh tani. Tidak punya sawah.
Rumahnya biasa saja kala itu. Tak ada listrik. Dia menghabiskan
hidupnya dengan bergantung dari petani.
Ngarit atau mencari rumput sudah
menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Bukan apa-apa, hewan
peliharaan di rumah butuh makan. Jika bapaknya sedang di sawah, usai
pulang sekolah dia membawa karung bekas dan sabit. Mencari rumput
menjadi pekerjaannya. Sudah biasa. Termasuk membantu ibunya
berjualan.
Kadang, dia pun harus menanak nasi.
Blora saat itu belum Blora seperti sekarang. Jaringan listrik belum
masuk desa. Dia belajar dengan ala kadarnya. Tak ada lampu. Hanya
berbekal uplik (senthir) dia membaca dan mengulas materi-materi
pelajaran yang ia dapatkan di sekolah.
“Tapi sejak kecil saya sudah
dengar radio. Saya mendengarkan radio,” terangnya.
Melihat orang tuanya yang pas-pasan.
Dia berpikir akan bekerja saja setelah lulus SMP. Untuk menambah
skill-nya dia berencana mendaftar ke SMK.
Namun ketika hendak mendaftar ke SMK,
justru disinilah ia berbuat kekonyolan yang membuat ia terjun ke awal
jalan kesuksesan.Yakni, niatan mendaftar ke SMK tak dilanjutkan.
Sebab, saat akan mendaftar ke SMK ternyata dia melintas di SMAN 1
Blora yang saat itu ada banyak orang mendaftar. Beloklah dia ke
sekolah itu. Formulir diganti. Lalu mendaftarkan diri ke SMA.
Di SMA, Maryudi tetap anak petani. Dia
tetap menjalankan rutinitasnya. Ngarit dan angon. Dua aktivitas itu
seperti sudah mendarah daging pada dirinya. Lulus SMA, dia lagi-lagi
iseng. Dia mencoba mendaftar UMPTN (sekarang SBMPTN). Dipilihlah
jurusan kehutanan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Atas keisengannya itu pun membawa
hasil. Dia diterima dan membuat seisi rumah kaget. Bapak dan ibunya
menangis. Orang tuanya khawatir tidak bisa membiayai kuliah. Wajar,
buruh tani mana yang bisa membiayai kuliah. Bahkan, tak ada bayangan
dalam dirinya untuk kuliah di kehutanan UGM.
“Saya minta didoakan saja ya Pak,
Mbok.” katanya pada kedua orang tuanya kala itu.
Baginya, doa orang tua adalah modal
yang sudah luar biasa untuk bisa bertahan di Yogyakarta. Soal uang
dia akan berpikir nanti saat sudah sampai di Yogya.
Aroma Yogyakarta di tahun 1994 mulai
terasa saat Maryudi turun dari bus. Kakinya melangkah penuh
kegelisahan. Dia tak punya uang untuk menyewa kamar kos. Pakaian yang
dibawa hanya tiga. Kaus, kemeja, dan satu celana. Tak ada bekal lain.
Yogyakarta memang cukup bersahabat bagi
para perantau. Dia pun mendapat tumpangan untuk tidur. Kuliah pun
dilaluinya. Seminggu di Yogyakarta ,dia sudah mendapat tempat
bekerja. Bukan di kantor, tapi di sebuah toko milik orang. Maryudi
bertugas untuk menjaga toko dan melayani pembeli.
Tidak ada bayaran saat itu. Hanya,
makan dan tempat untuk tidur. Tempat tidur pun bukan di kamar.
Melainkan, tempat sekadarnya saja. Setelah tujuh bulan bekerja dia
mulai tidak bisa mengatur waktu. Kuliah semakin padat akhirnya dia
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya menjaga toko.
Sadar tak ada uang untuk bertahan
hidup. Maryudi pun nekat untuk menarik becak. Sebagai mahasiswa UGM
tak membuat dirinya risih menjalani pekerjaan sebagai tukang becak.
Hanya, menjadi tukang becak membuat dirinya kelelahan. Seminggu
menjadi tukang becak akhirnya ditinggal lagi.
Dia pun berjualan koran. Ya, koran yang
saat itu menjadi pusat berita baik pusat maupun regional. Dari
berjualan koran inilah dia dipertemukan dengan seorang dosen di
fakultasnya. Bisa dibilang, pertemuan dengan dosen inilah yang
membuat hidupnya berubah.
Dia sering dilibatkan pekerjaan dosen
tersebut. Buku dan bahan bacaan pun semakin dilahap. Kesempatan
belajar lebih banyak. Membuat Maryudi terus memacu kemampuannya.
Gelombang reformasi pun tiba 1998 menjadi hal bersejarah bagi
Indonesia. Begitu juga dengan Maryudi. Dia lulus dari sarjana kehutanan UGM.
Yang, saat itu sulit sekali mencari pekerjaan karena kondisi ekonomi
Indonesia sedang bergoncang.
Anak pertama dari dua bersaudara ini
lantas ditawari oleh dosennya yang dulu menolongnya. Dia ditawari untuk bekerja di kampus
dan menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tak lama berselang, rekrutmen
menjadi PNS dosen pun dibuka. Dia mendaftar, akhirnya lolos.
Awalnya, Maryudi berpirkir dirinya
tidak akan diterima. Tapi, Tuhan berkata lain. Nasibnya sudah
ditentukan menjadi seorang PNS. Dia menjadi PNS pada 1999. Sebagai
seorang dosen, mimpinya untuk bisa keluar negeri segera ingin
diwujudkan.
Bukan hal mudah saat itu, Maryudi bukan
orang yang menguasai bahasa Inggris. Dia pun berusaha untuk mencari
kursus tetapi tak membuahkan hasil. Pernah di mencoba mendaftar di
Belanda, Inggris, dan Filipina tapi gagal.
Kegagalan untuk melanjutkan studi tak
membuat dia menyerah. Mengasah bahasa Inggris pun terus dilakukan.
Dia harus menunggu lama hingga akhirnya diterima di The Australian
National University, sebuah kampus terbaik di negeri kanguru itu.
Saat itu, dia masuk di Australia
sekitar 2003. Di sana dia mengambil kebijakan kehutanan. Tak perlu
lama dia akhirnya lulus dengan cepat di pada 2005. Menyandang gelar
magister bidang kebijakan kehutanan tak membuat dirinya berhenti.
Bapak tiga anak ini akhirnya
melanjutkan studinya ke jenjang doktoral. Dia mengambil PhD di Jerman
persisnya di Gottingen University dengan mengambil bidang kebijakan
pembangunan kehutanan. Saat itu, dia berangkat ke Jerman pada 2007.
Untuk menyelesaikan kuliahnya di Jerman
dia membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pada 2011 akhirnya gelar
PhD pun disandang. Kemudian, dia menyandang guru besar bidang
kebijakan kehutanan pada 2017. Sebagai seorang profesor yang cukup
muda di bidang kehutanan di UGM tak perlu diragukan.
Saat ini juga bertugas sebagai Deputy Coordinator Division Forest Policy and Governance-International Union of Forest Research Organizations (IUFRO). Salah satu Editor Forest Policy and Economics, sebuah jurnal ilmiah bereputasi tinggi yang diterbitkan oleh Elsevier dan diindeks oleh Scopus (Q1) dan Thomson Reuters (Q1).
Banyak melakukan penelitian tentang kebijakan dan tata kelola kehutanan, termasuk kebijakan hutan rakyat dan kehutanan sosial yang diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Bahkan banyak karya Maryudi yang bisa dibaca. Seperti buku Hutan Rakyat di Simpang Jalan. Lantas ada pula buku Rezim Politik Kehutanan Internasional dan buku-buku lainnya. Karya penelitiannya di bidang kebijakan kehutanan pun banyak beredar di jurnal internasional. Pemikirannya tentang kebijakan.
Saat ini juga bertugas sebagai Deputy Coordinator Division Forest Policy and Governance-International Union of Forest Research Organizations (IUFRO). Salah satu Editor Forest Policy and Economics, sebuah jurnal ilmiah bereputasi tinggi yang diterbitkan oleh Elsevier dan diindeks oleh Scopus (Q1) dan Thomson Reuters (Q1).
Banyak melakukan penelitian tentang kebijakan dan tata kelola kehutanan, termasuk kebijakan hutan rakyat dan kehutanan sosial yang diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Bahkan banyak karya Maryudi yang bisa dibaca. Seperti buku Hutan Rakyat di Simpang Jalan. Lantas ada pula buku Rezim Politik Kehutanan Internasional dan buku-buku lainnya. Karya penelitiannya di bidang kebijakan kehutanan pun banyak beredar di jurnal internasional. Pemikirannya tentang kebijakan.
“Berilah akses masyarakat di sekitar
hutan untuk mengelola hutan,” ujar dia.
Dia berpesan, bagi generasi muda di
Blora agar tidak berpandangan sempit tentang kuliah. Sebab, dengan
ilmu yang ada hidup seseorang akan bahagia. (aam/res-infoblora)
0 komentar:
Posting Komentar