Kupat lepet selalu dihadirkan dalam perayaan tradisi kupatan sepekan setelah Idul Fitri. (foto: dok-ib) |
Seperti besok pagi, Minggu (2/7)
masyarakat Blora dan sekitarnya akan merayakan Kupatan. Malam ini
warga mulai sibuk memasak kupat lepet untuk acara syukuran yang
biasanya dilaksanakan pagi hari dengan cara berkumpul bersama di
mushola atau masjid untuk berdoa serta makan kupat lepet.
Mengapa harus kupat lepet? Sejak kapan
tradisi ini mulai dilaksanakan? Nah hal ini yang akan kita bahas
bersama. Sebenarnya kupat lepet itu tidak sekedar makanan yang
mengenyangkan. Ia hadir pada masa Sunan Kalijaga menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa dengan berbagai nilai filosofi yang terkandung di
dalamnya.
Dimana Sunan Kalijaga kepada masyarakat
Jawa saat itu memperkenalkan tradisi dua kali lebaran yakni lebaran
Idul Fitri yang jatuh tepat 1 Syawal, dan lebaran ketupat atau
kupatan yang jatuh sepekan setelah 1 Syawal.
Dalam filosofi Jawa yang disampaikan
oleh Sunan kalijaga dan tertulis di beberapa buku sejarah, ketupat
memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari
“ngaku lepat” dan “laku papat”. Ngaku lepat artinya mengakui
kesalahan, sedangkan laku papat artinya empat tindakan.
Empat tindakan itu adalah Lebaran
yang menandakan berakhirnya waktu puasa, lalu yang kedua Luberan
(meluber atau melimpah) yang berarti ajakan mengeluarkan zakat fitrah
untuk kaum miskin, ketiga adalah Leburan (sudah habis dan
lebur) atau dosa dan kesalahan yang melebur selepas saling memaafkan,
dan yang keempat adalah Laburan (berasal dari kata labur,
biasanya dengan kapur) yang bermakna supaya manusia selalu menjaga
kesucian lahir dan batinnya.
Bentuk fisik ketupat yang segi empat
adalah ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya,
maka hatinya seperti ketupat yang dibelah dengan isi putih bersih
tanpa noda.
Sementara itu lepet bermakna “silep
kang rapet” atau “mari kita tutup yang rapat”. Jadi setelah
mengaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan,
jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti
lengketnya ketan dalam lepet.
Dalam Islam, rajutan persaudaraan ini
merupakan perwujudan dari hablum minannas yakni keselarasan hubungan
sesama manusia.
Namun ada juga yang memaknai lepet
sebagai “elek e disimpen sing rapet” atau bisa diartikan
kejelekannya sendiri disimpan rapat-rapat. Kejelekan adalah aib yang
sebisa mungkin jangan pernah diumbar. Tekstur ketan yang lembut saat
dikunyah diharapkan mampu mengingatkan manusia untuk terus diingatkan
akan kejelekannya.
Nilai-nilai tersebut sudah selayaknya
dihayati dan diamalkan. Tidak hanya sekedar membuat dan memakan kupat
lepet bersama-sama. Setiap tahun ketika lebaran ketupat, seluruh umat
manusia selalu diingatkan tentang filosofi ini. (res-ib)
0 komentar:
Posting Komentar