![]() |
Pramoedya Ananta Toer penulis hebat asal Blora yang kini dikenal dunia. Karyanya diterjemahkan ke 40 bahasa. (foto: ilustrasi) |
Sudah hampir 10 tahun penulis hebat yang
pernah menerima gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Michigan
University , Amerika Serikat di tahun 1999 tersebut meninggalkan “Bumi Manusia”.
Namun karya-karya nya masih tetap digemari di semua kalangan usia, bahkan diterjemahkan
hingga ke 40 bahasa di dunia.
Bagaimana sebenarnya perjalanan kehidupan
tokoh kebanggaan Blora ini? Berikut kami rangkumkan riwayat hidup singkat penulis
yang pernah dibuang di Pulau Buru tersebut dari berbagai sumber.
Seperti yang ditulis pada paragraf awal,
bahwa Pram dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1925 di sebuah rumah sederhana yang
berada di Jl.Sumbawa nomor 40 Kelurahan Jetis Blora dari seorang ayah bernama
Mastoer dan ibu Oemi Saidah.
Ayahnya, Mastoer lulusan sekolah
menengah (MULO) seorang nasionalis kiri yang resign menjadi guru HIS dan
memimpin kembaga pendidikan Institut Boedi Utomo di Blora (kini menjadi SMP
Negeri 5 Blora). Sedangkan ibunya, Oemi Saidah seorang keturunan kalangan
priyayi yang pernah menjadi murid Mastoer di HIS. Ibu Pram meninggal di usia
muda saat masih berumur 34 tahun akibat penyakit TBC yang dideritanya.
Semasa Pram kecil, kesehariannya
dibiasakan Mastoer untuk berbicara dengan bahasa jawa. Namun ketika
membicarakan hal-hal serius, keluarga ini mengharuskan berbicara menggunakan
bahasa belanda. Berbeda dengan ibunya yang lebih dekat dengan bahasa melayu
karena beliau berpendidikan Islam Pesisiran sehingga sangat religius.
Pada zaman Belanda tersebut, keluarga
Mastoer bisa dikatakan salah satu keluarga di Blora yang mempunyai kemampuan
ekonomi baik. Keluarga ini pun salah satu pelanggan koran terbitan dari Batavia
dan Soerabaja (Surabaya-red). Dari koran inilah Pram kecil mengenali bahasa
melayu selain dari ibunya dan sesekali mendengar percakapan para pedagang
China.
Sehingga ketika Pram duduk di bangku
kelas 4-5 Institut Boedi Utomo, ia sudah tidak merasa asing lagi dengan bahasa
melayu yang menjadi salah satu pelajaran di sekolah saat itu.Di sekolah ini
mulai kelas 1 hingga kelas 4 memakai bahasa pengantar bahasa jawa, sedangkan
kelas 5 dan 6 memakai bahasa belanda.
Namun semasa sekolah setara SD ini, Pram
“yang angannya suka melayang” ini bukanlah seorang murid yang cerdas. Ayahnya,
Mastoer pun kerap mengatai anaknya ini sebagai anak goblok karena selama 10
tahun baru bisa menamatkan jenjang SD.
Tak heran ketika ia berkeinginan untuk
melanjutkan sekolah menengah MULO ditentang oleh ayahnya. Mastoer menolak untuk
membiayainya karena berfikir Pram bukanlah anak yang cerdas. Justru sang ibu,
Oemi Saidah yang mendorong Pram untuk tetap melanjutkan sekolah.
Oemi Saidah menyuruh Pram mencari
sekolah apa saja, dan Pram memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan sekolah
di Radio Vackschool lulus tahun 1941. Di
tahun ini pula sang ibu yang selalu memberikan semangat kepada Pram harus
meninggalkannya karena digerogoti
Penyakit TBC.
Sepeninggal ibunya, Pram bersama adiknya
Prawito memutuskan untuk pindah ke Jakarta mencari pekerjaan dan tinggal di
rumah pamannya yang bernama Moedigdo. Namun disini Pram justru melanjutkan
sekolahnya di Taman Dewasa Jakarta setingkat dengan SMP. Di sekolah ini Pram duduk
sebangku dengan Asrul Sani, seorang yang belakangan dikenal sebagai sastrawan dan
sutradara terbaik Indonesia asal Sumatra Barat. Seteru Pramoedya.
Di sekolah inilah Pram tumbuh dan mulai
mengenal karya kesusasteraan. Guru bahasa melayu nya yakni Mara Sutan menjadi
gurunya yang terbaik. Bersama Asrul Sani dan kawan-kawan lainnya, Pram membuat
majalah sekolah dan ditempel di dinding-dinding.
Ketika tulisan Pram pertama kali muncul
di majalah dinding sekolah, Asrul Sani kaget membacanya. Kosa kata bahasa Indonesia
Pram dianggap Asrul Sani masih belepotan dan tidak teratur. Wajarlah jika saat
itu Asrul Sani menertawakan karya Pram, pasalnya ketika itu ia sudah sering
menulis dan karyanya dimuat di berbagai koran.
Karena merasa tidak berbakat di dunia
mengarang, Pram pun dengan kemampuan mengetik dan ketrampilan lain masuk
bekerja di sebuah kantor berita milik Jepang bernama Domei. Disini ia hanya
bekerja sebagai tukang ketik. Tetapi ia tidak sekedar memindahkan tulisan
tangan menjadi ketikan, namun juga membenahi kata atau susunan kalimat yang
tidak pas.
Pada prinsipnya Pram berusaha agar
kalimat yang diketiknya menjadi lebih efisien dan mudah dimengerti. Contoh kata
“tentera” ia ubah menjadi “tentara”, lalu kata “Eropah” ia ketik menjadi “Eropa”,
dan lainnya. Keberaniannya untuk mengubah susunan kosa kata tersebut ternyata
diterima oleh pihak Domei bahkan rekan kerja sekantornya banyak yang meniru
langkah Pram.
Karena ulahnya itu, Pram pun dikursuskan
Domei di sekolah stenografi. Disini i berkenalan dengan Muhammad Hatta dan
Karundeng yang keduanya kelak menjadi idola Pram. Tetapi di akhir kursus
tersebut Pram merasa dongkol karena rekan perempuan lainnya yang kursus dengannya
banyak yang naik pangkat dan menjadi staf redaksi di Domei, sedangkan ia tetap
menjadi juru ketik.
Alasan pihak Domei hanya karena Pram
tidak memiliki ijazah sekolah menengah seperti yang dimiliki rekan perempuan
lainyya tersebut. Akhirnya merasa diperlakukan tidak adil, ia memutuskan untuk
keluar dari kantor berita Domei.
Berkali-kali mengajukan surat
pengunduran diri, selalu ditolak oleh Adam Malik yang saat itu menjadi kepala
Domei. Ia pun memutuskan untuk kabur dari Domei. Atas tindakannya kabur ini, ia
disamakan dengan melakukan tindakan desersi.
Karena takut ditangkap Kempetai (Polisi
Jepang) yang saat itu menjajah Indonesia, Pram lari ke sebuah desa kecil di
Jawa Timur. Ia kembali setelah Jepang kalah di tahun 1945. Di awal jaman
kemerdekaan Indonesia ini, Pram kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Badan
Keamanan Rakyat (BKR) dan ditugaskan di sekitar Cikampek Jawa barat.
Setahun kemudian Pram memutuskan untuk
mundur dari BKR dengan pangkat terakhir Letnan Dua (Letda). Ia mundur karena
tidak suka dengan kebijakan Muhammad Hatta terhadap kaum militer.
Selanjutnya, selepas dari BKR, Pram
menjadi redaktur di sebuah majalah yang bernama “Sadar”. Anehnya setelah
berjalan setengah tahun, Belanda datang dan menangkapnya untuk dipenjarakan
dengan tuduhan mencetak dan menyebarkan pamflet menentang Belanda. Ia ditahan
di penjara Bukit Duri Jakarta dan bebas di tahun 1949.
Dalam masa kurungan ini lah ia
melahirkan 2 karya tulis perdananya yang berjudul “Perburuan” dan “Keluarga
Gerilya”. Karya inilah yang menjadikan stempel sah kepengarangannya. Setelah
keluar penjara, ia juga melahirkan karya lagi berupa novel dengan judul “Percikan
Revolusi”, “Bukan Pasar Malam”, “Di Tepi Kali Bekasi”, dan “Cerita dari Blora”
yang banyak disukai pembaca.
Pram juga menerbitkan “Hoakiau di
Indonesia”, buku yang membuatnya diculik oleh tentara dan dipenjara setahun di
Jakarta. Di masa itu Pram juga mengasuh lembaga penerbitan Lentera, Lembaga
Budaya Koran Bintang Timur dan menjadi salah satu tokoh LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat).
Setelah tahun 1965, Pram kembali
ditangkap dan sering dipenjarakan berpindah-pindah hingga kesakitan di Pulau
Buru, Maluku. Baru pada tahun 1979 ia bebas merdeka dari kurungan penjara yang
tidak jelas putusan pengadilannya tersebut. Ia selalu dipenjara tanpa adanya
proses peradilan yang jelas dan atas dasar kesalahan tertentu.
Selama dibuang dalam pengasingan di
Pulau Buru, Pram tidak hanya diam, ia terus berkarya dan menghasilkan buku
berjudul “Tetralogi Buru”, “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, “Arus Balik”, “Mangir”
dan “Arok Dedes”. Pram selalu berpesan bahwa menulis hanya membutuhkan sebuah
keberanian bukan karena segala urusan “tetek bengek” yang menggelutinya. “Kapan
saja jika ada kemauan, menulislah,” kata Pram saat masih hidup.
Sampai di usia senjanya, Pram telah
menelurkan ratusan karya tulis berupa novel, buku, malajah dan sebagainya.
Beberapa karya lawas Pram adalah “Sepoeloeh Kepala Nica” tahun 1946, “Kranji-Bekasi
Jatuh” tahun 1947, “Perburuan” tahun 1950 dan “Keluarga Gerilya” di tahun 1950
juga. Sedangkan karyanya yang cukup terkenal adalah “Bumi Manusia” dan “Gadis
Pantai”.
Adapun karya Pram tahun 1952 yang
berjudul “Cerita dari Blora” berhasil memperoleh penghargaan sebagai karya
sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pda tahun 1953.
Sebenarnya masih banyak lagi karya Pram
yang bisa dibaca dan dinikmati para penyuka sastra. Namun karena banyak yang
mengkritik pemerintahan orde baru, maka banyak karya Pram yang dilarang terbit
oleh Jaksa Agung saat itu.
Di usianya yang sudah menginjak 80 tahun
pada 2005 lalu, ia pun masih aktif menulis dengan berbuah karya berjudul “Jalan
Raya Pos - Jalan Deandles” sebelum akhirnya jatuh sakit. Pada 26 April 2006 iya
jatuh sakit dan tak sadarkan diri. Ia divonis dokter mengidap radang paru-paru
komplikasi jantung, ginjal dan diabetes.
Pramoedya wafat di rumahnya daerah Utan
Kayu Jakarta Timur pada tanggal 30 April 2006 dan dimakamkan di Taman Pemakaman
Umum (TPU) Karet Bivak Jakarta. Untuk mengenangnya, di batu nisan makam diberi
tulisan “Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan”.
Salah satu pesan Pram yang sangat
menginspirasi kaum muda saat ini yakni “Orang boleh pandai setinggi langit.
Tetapi selama ia tidak menulis, maka ia akan hilang di dalam masyarakat dan
hilang dari sejarah. Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian”.
baca juga: Mengenal Sosok Sastrawan Dunia dari Blora, Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006)
Rumah Pram semaca kecil di Blora kini
dijadikan sebuah perpustakan yang menyimpan sejarah dan karya-karya fenomenal
Pramoedya. Dikelola secara mandiri oleh adik kandungnya yang juga seorang
penulis yakni Soesilo Toer. Perpustakaan ini awalnya bernama PATABA (Pramoedya
Ananta Toer Anak Blora), namun karena sudah banyak pengunjung datang dari
berbagai belahan dunia, maka kepanjangan PATABA diubah menjadi Pramoedya Ananta
Toer Anak Semua Bangsa. *diolah dari berbagai sumber (tio-infoblora)
0 komentar:
Posting Komentar