![]() |
Rumah Kaos Samijoyo All Star mengangkat tema sosial budaya khas Blora |
Blora yang mempunyai kebudayaan cukup tua dan latar belakang sejarah panjang. Hal itulah yang menyebabkan banyak sejarawan, seperti Raffles menulisnya dalam sebuah buku berjudul “The History of Java” (1871). Tak hanya itu, sarjana Belanda, E. Ketjen dalam karangannya berjudul ”De Kalangers” (1877) dan ”Geschidenis der Kalangs op Java” (1877), yang membicarakan orang-orang Kalang di daerah Blora dan Bojonegoro.
Penulis Donald Maclaine Campbell, juga menceritakan di bukunya yang berjudul Java: Past and Present A Description of the Most Beautiful Country in the World, It’s Ancient History, People, Antiquities, and Products (1913).
Mulai dari Mpu Bharada, Ajisaka, Arya Penangsang, Samin Surosentiko, Tirto Adhi Soerjo, S.M. Kartosoewirjo, Mas Marco Kartodikromo hingga sang kandidat Nobel bidang sastra Pramoedya Ananta Toer, telah membuktikan Blora adalah tempat para pujangga dan seniman dunia, yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Banyak tokoh pejuang pembebasan yang dilahirkan di Blora. Begitu juga pejuang dari luar Jawa seperti Tjut Meurah Intan, yaitu seorang pejuang wanita penentang kolonial dari Aceh yang juga dibuang, meninggal, dan dimakamkan di Blora.
Banyak sekali ragam kesenian yang ada di Blora, baik tradisional atapun modern. Barongan, Wayang Krucil, Kentrung, Hadrah, Tayub, Ledek Barangan dan Campursari adalah di antaranya. Ini merupakan aset daerah yang unik akan kekhasan potensi lokal.
Belum lagi obyek-obyek wisatanya yaitu Goa Terawang, Goa Kidang, Waduk Bentolo, Taman Budaya dan Seni Tirtonadi. Juga terdapat situs kerajaan, petilasan dan peninggalan-peninggalan bersejarah kepurbakalaan yang tersebar misalnya di Dukuh Singget, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan dan di berbagai sudut buminya. Blora merupakan mutiara yang terpendam.
Tapi semua itu menjadi keniscayaan apabila tidak ada upaya untuk menumbuhkembangkan rasa kecintaan akan Blora, pada elemen masyarakat yang ada. Baik yang tinggal di Blora ataupun mereka yang berada di luar kota. Dengan adanya globalisasi, pasar bebas, maka ragam budaya dari luar yang masuk tak akan bisa dibendung. Akses informasi melalui media cetak maupun elektronik, berpihak pada produk luar/ asing yang menjauhkan kecintaan dari potensi dan kebudayaan lokal.
Pola pikir konsumtif dengan berbasis budaya gengsi menjangkiti sebagian besar anak-anak muda, yang seharusnya kritis dan aktif dalam pengembangan budaya daerah. Ketika masyarakat lebih suka burger daripada nasi pecel, maka ini adalah sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan peradaban lokal. Ketika anak-anak lebih kenal The Avengers dan Angry Birds daripada Barongan dan Jaran Kepang, berarti sudah saatnya mendapat perhatian.
Dikutip dari samijoyoallstar.blogspot.com, berdasarkan situasi dan kondisi itulah, Eko Arifiyanto (37) beserta istrinya Asih Paniyati (30) menganalisa fenomena tersebut dikarenakan minimnya usaha menanamkan apresiasi budaya lokal. Hal ini menyebabkan tingkat degradasi kebudayaan lokal dari tahun ke tahun semakin besar, hingga menyebabkan generasi sekarang dan nanti semakin terjauhkan dari sejarah peradaban lokal yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, maka hal terburuk yang akan terjadi adalah Blora akan tercerabut dari akar sejarahnya.
Untuk itulah ”Samijoyo All Star” ada. Rumah produksi dan warung kaus khas Blora ini hadir, dengan langkah kongkrit dalam upaya menumbuhkembangkan kecintaan akan seni dan budaya lokal dan nasional.
”Pembuatan karya seni kaos lokal yang mengangkat nilai-nilai sejarah, kekayaan seni budaya khas Blora, beserta kearifan lokalnya. Ini jadi salah satu cara untuk mentransformasikan apresiasi seni budaya, kepariwisataan, dan sejarah kota Blora serta bangsa Indonesia ke generasi muda khususnya, juga masyarakat semua lapisan pada umunya,” kata Eko. (rs-infoblora | Titis-murianews)
0 komentar:
Posting Komentar