![]() |
Yanuri Natalia Sunata |
Di dalam kehidupan
sehari-hari kita sering mendengar istilah karakter,
tetapi sebagian dari kita belum tahu apa makna yang sebenarnya dari kata
tersebut. Menurut
Hornby dan Parnwell (1972:49), secara harfiah karakter adalah “kualitas mental
atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi”. Sedangkan, menurut Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Jika kita
mencermati lebih dalam, sebenarnya karakter sudah ada dalam diri manusia,
tetapi yang membedakan yaitu prosesnya di dalam mengasah dan membina dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang ditanamkan sejak dini akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan individu itu selanjutnya.
Pada zaman
dahulu, ketika di Indonesia memiliki Sekolah Rakyat (SR), sebenarnya konsep
pendidikan karakter sudah ada dan diberlakukan, misalnya seorang anak harus
memotong kuku dan tak segan-segan akan dipukul tangannya jika melanggar itu,
sehingga sikap patuh dan disiplin tertanam kuat. Seperti itulah contoh kecil
dari penanaman pendidikan karakter ketika itu. Di masa sekarang ini, output pendidikan yang semestinya mampu
menghasilkan pioner-pioner sebagai generasi penerus bangsa, banyak yang masih
minim kualitas dan karakternya.
Untuk itu
sebuah pendidikan harus mampu menjadi pengarah dan semacam social control yang baik bagi siswa. Tidak hanya mengedepankan
aspek kecerdasan intelektual saja, tetapi lebih dari itu harus mengkombinasikan dengan ranah yang
lain, yaitu kecerdasan emosi dan spiritual. Ketiga ranah kecerdasan tersebut
merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain dan saling
terkait.
Dalam dunia
pendidikan tentunya kita mengenal sosok pahlawan Ki Hajar Dewantoro dengan tiga
pilar pendidikannya, yaitu :
“Ing
ngarsa sung tuladha
Ing madya mbangun karsa
Tut wuri handayani”
Tiga pilar
ini merupakan sebuah filosofi yang tepat untuk diselaraskan dengan konsep
pendidikan karakter. Karena dalam mewujudkan sebuah pendidikan karakter yang
bermutu dibutuhkan sebuah keteladanan dan konsep kesadaran diri. Obsesi
membentuk manusia yang berkarakter harus dimiliki oleh orang tua, guru, dan
pemimpin. Pihak-pihak ini diharapkan mampu menciptakan suatu situasi psikologis
dan sugesti yang nyaman pada suatu individu dalam proses internalisasi nilai
dan budaya. Selain itu, sikap keteladanan, pembiasaan bertingkah laku baik
merupakan strategi yang dapat digunakan dalam menumbuhkembangkan karakter dan kepribadian
yang positif pada individu dan terlebih pada bangsa.
Dalam
konteks pendidikan di Blora, untuk mewujudkan pedidikan yang bermoral dan
berkualitas maka peran sentral guru menjadi keharusan. Guru harus mampu
membimbing dan mengarahkan siswa untuk membentuk karakter yang positif melalui
pembelajaran dan aktivitas belajar lainnya.
Ada
berbagai cara untuk menginternalisasi nilai karakter dalam pendidikan.
Pertama, pendidikan karakter akan lebih
mudah diserap jika nilai-nilai karakter yang disampaikan terdapat muatan
kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal lebih mudah diterima siswa karena
lebih dekat dengan lingkungan dimana siswa itu tinggal. Keragaman budaya dan
tempat wisata di Blora banyak memunculkan nilai-nilai kearifan lokal yang
seharusnya dioptimalkan melalui proses internalisasi nilai-nilai kearifan lokal
ke dalam pendidikan. Siswa dapat diajak untuk berwisata (study tour) budaya dan tempat wisata di Blora, seperti di Kampung
Samin Karangpace Klopodhuwur. Nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang
adiluhur dari ajaran sikep dapat diinternalisasi dalam pembelajaran siswa. Guru
juga dapat mengajak siswa untuk melihat pertunjukan seni barongan Blora. Guru
dapat menugaskan siswa untuk memahami sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora
seperti kekeluargaan, kesederhanaan,
kompak, dan keberanian yang tercermin dalam seni pertunjukan barongan.
Penanaman karakter melalui langkah di atas secara tak langsung juga dapat
mempromosikan wisata budaya di Kabupaten Blora.
Kedua, kearifan lokal Blora dapat diinternalisasi
dengan memasukkan konten kearifan lokal ke dalam kurikulum di sekolah. Hal
tersebut sebagai usaha dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter serta
mendukung pelestarian kearifan lokal Blora. Kurikulum di sini lebih pada
penerapan atau kurikulum yang tidak tertulis. Kurikulum ini dapat berisikan
nilai, norma, dan kepercayaan atau keyakinan dalam kearifan lokal Blora yang diimplementasikan
baik di dalam kelas maupun di lingkungan sosial siswa. Guru harus pandai
memasukkan nilai-nilai kearifan lokal dalam setiap pembelajaran secara
eksplisit maupun implisit. Misalnya, membiasakan siswa saling bergotong-royong
dalam berbagai aktivitas, menerapkan pembelajaran kontekstual dengan mengaitkan
materi pembelajaran dengan budaya setempat atau lokasi wisata di Blora. Hal
tersebut sejalan dengan ruh kurikulum
2013 yang menekankan pada pembelajaran kontekstual.
Ketiga, Dinas Pendidikan setempat dapat bekerja sama
dengan penggiat wisata atau kebudayaan dan masyarakat di Kabupaten Blora. Hal
tersebut dapat menjalin komunikasi dalam rangka menginternalisasi nilai
kearifan lokal dalam pendidikan. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan
dapat mengadakan suatu kesepakatan yang bersifat teknis. Selain itu, pemerintah
dapat merumuskan kebijakan di lingkungan pendidikan setempat mengenai
pentingnya memahami dan menginternalisasi nilai kearifan lokal dalam pendidikan
dan menjadikannya sebagai model pembentukan karakter siswa.
Keempat, pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata dapat bekerja sama untuk mencetak sebuah bacaan/referensi bagi
siswa yang berisi tentang berbagai nilai kearifan lokal dalam budaya dan wisata
di Kabupaten Blora. Hal ini dapat memudahkan siswa untuk memahami budaya
daerahnya melalui kegiatan membaca yang dapat diakses di perpustakaan sekolah
maupun daerah.
Berbagai
cara di atas tidak dapat berjalan lancar jika tak ada dukungan dari Pemerintah
Daerah (Pemda). Dukungan dari pemda dapat berupa materi dan moril. Oleh karena
itu, diperlukan sebuah sinergi dari berbagai stakeholder terkait untuk menginternalisasi kearifan lokal dalam
pendidikan. Dengan demikian pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya atau
kearifan lokal tidak hanya diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakatnya atau
tersimpan di arsip Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saja, tetapi juga dapat
dipahami dan diserap oleh siswa sejak dini dalam dunia pendidikan.
Oleh : Yanuri
Natalia Sunata, editor buku, Ds. Gayam Rt.02/02 Kecamatan
Bogorejo, Blora.
0 komentar:
Posting Komentar