![]() |
Hutan Jati dan Minyak Bumi Kekayaan Bumi Kabupaten Blora |
Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati dan minyak bumi, karena 49,66%
wilayahnya adalah hutan jati dan di salah satu Kecamatan di Blora,
yaitu (Blok) Cepu ditemukan cadangan 250 juta barel minyak bumi yang
pada tahun 1899 sudah dilakukan ekploitasi. Hanya saja sejak terjadi
penjarahan kayu jati, luas hutan jati telah berkurang, sedangkan
besarnya cadangan minyak bumi tetap menempatkan Blora (Cepu) sebagai
lumbung minyak yang menggiurkan. Heboh kasus Exxon Mobil yang sempat
merebak beberapa waktu lalu mengindikasikan hal ini.
Sumber daya alam berupa kayu jati dan minyak bumi tidak lantas membuat Kabupaten Blora menjadi kabupaten kaya. UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
yang diantaranya menetapkan kedua sumber daya alam tersebut dikelola
oleh Pemerintah Pusat telah membuat Kabupaten Blora hanya mendapatkan
‘sisa-sisa’ kekayaannya.
Itulah salah satu alasan mengapa sampai saat
ini Blora tetap saja menjadi kabupaten miskin, karena kekuatan
ekonominya lebih banyak ditopang oleh sektor pertanian seluas 40%
wilayah (72.502.33ha). Padahal 64.44% dari areal persawahan itu berupa
sawah tadah hujan yang siklus pertaniannya mengandalkan musim. Bisa
dibayangkan betapa minim produktifitas kabupaten ini. Tidak heran jika
PDRD (Produk Domestik Regional Daerah) per kapita Blora pada tahun 2011
hanya sebesar Rp5,9juta, menduduki peringkat ke-33 dari 35 kabupaten di
Jawa tengah. PDRD perkapita tersebut jauh lebih rendah dari PDRD
perkapita rata-rata Propinsi Jawa Tengah tahun 2011 sebesar Rp15,4juta.
Artinya rakyat Blora adalah rakyat termiskin ketiga di Jawa Tengah.
Nasib Kabupaten Blora sebenarnya tidak
berbeda dengan kabupaten atau propinsi lain penghasil minyak bumi.
Kalimantan Timur misalnya, yang terkenal sebagai sumber minyak bumi,
pada tahun 2012 Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengaku selama
65 tahun Indonesia merdeka, propinsinya belum mampu membangun daerahnya,
apalagi infrastruktur. Bahkan, Kaltim belum bisa membiayai kebutuhan
dasar masyarakatnya. Maka wajar jika daerah penghasil minyak bumi
menuntut pembenahan regulasi dana bagi hasil yang lebih adil.
Para Pakar Hukum Tata Negara seperti Prof
Saldi Isra memberikan penjelasannya tentang hal ini yang menilai bahwa
ketidak-adilan itu disebabkan oleh ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahun 2004 yang memberikan “lorong gelap” yang merugikan daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas).
“Kerugian itu disebabkan adanya frasa
‘pungutan lainnya’ dalam pasal itu sebelum dilakukan pembagian dengan
daerah penghasil pertambangan migas,” kata Saldi saat diperiksa sebagai
ahli pemohon dalam sidang lanjutan pengujian undang-undang PDRD di ruang
sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (1/2/2012).
Makanya, kata Saldi, sangat masuk akal jika
Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahunn 2004 dikatakan bertentangan
dengan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan pemanfaatan sumber daya alam
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras.
Regulasi yang lebih adil sebenarnya telah diberlakukan pemerintah di Propinsi NAD dan Papua dengan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan atau UU No 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-undang tersebut
diantaranya memerintahkan presiden untuk menerbitkan Perpu. Maka lebih
arif jika bagi daerah lain termasuk Kaltim dan Jateng (Blora di
dalamnya) juga diberlakukan ketentuan serupa yang nota bene lebih
memberikan hak bagi daerah penghasil untuk memperoleh pendapatan yang
lebih seimbang dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya.
Sudah saatnya fakta-fakta kontroversi semacam
kasus Kabupaten Blora yang kaya sumber daya alam tetapi rendah PDRD
perkapita bisa diselesaikan dengan pendekatan regulasi sebagaimana
dikemukakan di atas. Tidak mengapa PDRD perkapita tahun 2011 masih
rendah, tetapi jika defisit daerah bisa ditutup dengan bagi hasil daerah
yang lebih besar, maka daerah akan lebih mandiri secara ekonomi untuk
membenahi kelemahannya. Toh dana bagi hasil itu bisa didorong untuk
digunakan membenahi sarana dan prasarana yang akan mempercepat
perputaran roda ekonomi daerah sebagai penyangga tumbuhnya PDRD per
kapita daerah itu. (AL-Kompasiana)
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar