![]() |
Ilustrasi Pocut Meurah Intan (kiri), dan makamnya di Desa Temurejo Blora (kanan). |
Pemerintah Kabupaten Blora mengingatkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati dan
menghargai Pahlawannya. Itu sebagai reflekasi atas jasa dan perjuangan serta
pengorbanan saat melawan penjajah pada masanya.
Di Blora ada tempat peristirahatan terakhir salah satu pejuang wanita,
putri salah seorang bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh, yakni Pocut Meurah
Intan. Makamnya tak lepas dari perhatian pemkab sebagai salah satu bukti
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang sangat penting.
Berada di komplek pemakaman Desa Temurejo, sekitar 3 km arah utara
Alun-alun Kota Blora, makam sang pahlawan wanita gagah berani itu sering
didatangi warga dari dalam dan luar kota untuk ziarah. Bahkan beberapa
mahasiswa Aceh yang kuliah di Jawa juga sering ziarah ke makam di utara Kota
Blora ini.
“Kami ingin menggugah generasi muda khususnya, agar menauladani, menghargai
dan tau posisi makamnya, sebagai ilmu untuk dikaji.Pocut Meurah Intan adalah
seorang Ibu yang gagah berani, bersama putranya berjuang melawan Belanda hingga
akhirnya beliau dibuang ke Blora dan meninggal,” kata Kepala DPPKKI Blora, Slamet
Pamuji SH, di Blora, Kamis (6/11).
Dari berbagai referensi, dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk
tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini
di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun
1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh
dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti
terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan.
Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada
putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan
bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas
bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang
anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda,
ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan
bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan
dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan
untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh
tiga orang putera, yaitu
1. Tuanku Muhammad yang
biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
2. Tuanku Budiman, dan
3. Tuanku Nurdin.
Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda, Pocut
Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan
Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka
pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan
perlawanan secara bergerilya.
Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku
Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan
perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam
catatan pasukan Marsose.
![]() |
Mahasiswa Aceh ziarah ke Makam Pocut Meurah Intan di Blora. |
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan
Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut
Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang
Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat
mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua
di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan
lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang.
Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah
akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan,
luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak
Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama,
ia menjadi pincang selama hidupnya.
Dimasukkan ke dalam penjara
Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku
Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku
Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di
kawasan Laweueng dan Kalee.
Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil
menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang
sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan
Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak
melakukan hal tersebut.
Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan
saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku
Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa. Berdasarkan
Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut
Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di kawasan Desa Temurejo Kecamatan Blora. (DPPKKI
Blora | berbagai sumber sejarah).
0 komentar:
Posting Komentar