![]() |
Sumaryati, pedagang daging ayam di kawasan Pasar Induk Blora. (rs-infoblora) |
Salah seorang penjual daging ayam di pasar Blora, Sumaryati (48) asal Desa Buluroto Kecamatan Banjarejo, mengatakan sejak sepekan harga daging ayam potong mulai merangkak naik hingga Rp 28 ribu per kilogram. Sebelumnya bekisar Rp.25 ribu per kilogram. Untuk daging ayam kampung, dari harga Rp 35 ribu per kilogram menjadi Rp 40 ribu per kilogram.
“Harganya mulai berubah, kalau stoknya aman karena kami menerima pasokan cukup dari para peternak, bisa jadi harga saat ruwahan nanti berubah lagi,” ujarnya.
Untuk satu ekor utuh daging ayam, kata Sumaryati, saat ini masih stabil, yakni berkisar Rp.25 ribu per ekor utuh daging ayam potong dan Rp.50ribu untuk harga daging ayam kampung utuh dengan ukuran sedang.
“Maksudnya utuh itu belum dipotong-potong, masih lengkap dengan kepala hingga kaki ayam yang sudah disembelih,” jelasnya.
Pedagang pasar Blora lainnya, Kasiyati (44). Pedagang bumbu dapur asal dukuh Teleng, Desa Buluroto, Kecamatan Banjarejo itu menjelaskan untuk harga bumbu dapur beberapa diantaranya juga sudah mengalami perubahan meski belum mengalami lonjakan.
Harga cabai merah dan hijau, kata dia, hingga pekan ini masih stabil, yakni Rp 6000 per kilogram. Sedangkan untuk cabai rawit mencapai Rp 10.000 per kilogram pada pekan ini.
“Itu tergantung dari mutu dan jenis cabainya, kalau kurang bagus ya harganya menyesuaikan, yang penting kami tidak rugi, tapi saya selalu kulak cabai yang baik-baik saja, artinya pilihan,” kata dia.
Harga bawang merah di pasar Blora, kata Kasiyati, mencapai Rp 20 ribu per kilogram, sedangkan bawang putih pada pekan ini mencapai Rp 12 ribu per kilogram. Harga telur ayam merangkak naik hingga Rp 20 ribu per kilogram. Untuk harga sayuran masih relatif stabil.
Sementara itu pada kesempatan terpisah, Pardini (63), salah seorang ibu rumah tangga asal Desa Tamanrejo Kecamatan Tunjungan menuturkan untuk kebutuhan bancakan ruwahan, yang sering dibutuhkan warga selain bahan makanan pokok beras, di antaranya untuk bumbu tumpeng yaitu tahu, tempe, kentang, mie, kacang panjang, daging atau telur ayam serta buah-buahan.
“Yang sering dipakai bisanya buah pisang. Namun yang tak kalah menarik dan dipandang penting biasanya warga membuat kue apem, sebab itu merupakan salah satu ciri khas bancakan di bulan Ruwah, selain itu juga ada kue tradisional lain seperti nagasari atau jenis lainnya,” tutur Pardini.
Hal senada juga dikatakan noleh Watini (65), seorang ibu rumah tangga warga Desa Jepangrejo, Kecamatan Blora. Menurut dia, bancakan atau kondangan di bulan Ruwah, merupakan tradisi warga masyarakat di lingkungannya yang sudah dilakukan dari tahun ke tahun.
“Tujuan utamanya biasanya adalah mengirim doa kepada arwah leluhur, selain itu juga menjalin rasa persatuan sesama warga dan pemeluk agama. Bagi yang masih mengikuti tradisi tersebut, kebiasaan ini dilakukan sebulan selama bulan Ruwah, atau menjelang datangnya bulan puasa Ramadhan,” katanya.
Bagi warga yang memiliki rejeki lebih, selain tumpeng untuk bancakan ruwahan, biasanya juga membuat nasi, sayur dan lauk serta kue untuk dibagi-bagikan kepada warga atau sanak saudara. Menjelang malam hajatan, biasanya yang punya rumah mengundang tetangga sekitar untuk datang pada waktu yang ditentukan mengikuti kondangan. Saat bancakan berlangsung, dipimpin oleh pemuka agama atau modin setempat.
“Jadi biasanya, kalau pas kebetulan barengan dengan warga lain, bisa jadi menjelang malam dapat undangan kondangan hingga lebih satu kali. Yang berangkat biasanya bapak-bapak atau anak laki-laki,” jelasnya.
Diperoleh informasi, pada beberapa desa, tradisi bancakan Ruwahan dilakukan secara kolektif di masjid atau langgar. Hal tersebut, dianggap praktis dan irit karena tidak usah mengundang tetangga ke rumahnya, namun tujuan utamanya mendoakan arwah leluhur tetap berlangsung sebagai tradisi pada bulan Ruwah. (rs-infoblora | DPPKKI Blora).
0 komentar:
Posting Komentar